Rasanya, saya sedang bermimpi. Dalam mimpi saya itu, saya melihat manusia Indonesia seusia pelajar sampai mahasiswa dari umur 9 sampai 42 tahun sedang menarik sebuah gerobak raksasa yang ditunggangi oleh tubuh-tubuh tambun seperti berisi gerombolan manusia aneh bin ajaib, ada yang berkepala serigala, kura-kura, anjing pudel, tikus, babi, ular, lintah, dan berbagai jenis kepala lainnya. Tapi umumnya kepala binatang, dari jenis buas, setengah, buat, malu-malu kucing, rakus, tamak, dll. Mereka umumnya duduk atau berdiri dengan pongah, dengan mata yang licik dan keji, lidah melelehkan liur karena sedang asyik masuk dengan rakus memakan berbagai makanan dan minuman disampingnya, sambil memangku lonte seksi, yang semlehoi.
Lonte itu memakai baju seksi. Bajunya yang bolong di bagian dada hingga belahan diantara dua bukit kembarnya. Tentu saja, dibagian itu lembah diantar keduanya jadi mencolot. Baju itu pun terus membelah sampai dekat pusarnya. Dan kalau dilihat dari belakang, ternyata bolong juga di bagian punggungnya seperti baju sundel bolong. Dan disana, tepatnya di bagian pantatnya yang seksi tertulis tulisan aneh, mungkin namanya “Prebu Ketiwi”. Entah darimana lonte yang bokongnya bertuliskan “Prebu Pretiwi” itu berasal, yang jelas ia benar2 seksi dan cantik, apalagi bibirnya rada ndombeh menantang mirip bintang sinetron ancur-ancuran yang gambar pornonya ramai di donlot orang di Internet.
Di depannya nampak si kusir kereta yang tak berdaya , renta, tua, nampak dungu dan bodoh seperti pendeta yang kehilangan ilmunya. Mungkin ilmunya sudah pada kabur entah kemana hingga kusir yg nampak seperti pendeta itu lebih mirip robot kurang makan dan minum yang sesekali, dengan takut-takut, mencomot remah-remah sisa makanan para penumpangnya. Tidak jarang pula ia diam-diam mencoba mengelus-elus kaki si lonte yang duduk menjuntai-juntai diatas pangkuan penumpang yang super duper aneh tersebut. Sesekali, si kusir melecutkan cambuknya sambil menggaruk selangkangannya yang mendadak dangdut ke rombongan penarik kereta yang kurus kerempeng itu karena menarik beban berat.
Cambuknya yang panjang sesekali menggeliat di udara dan menggeletar dengan suara mencicit “Duit……duit…….duit……maneee….”. Aneh betul suara lecutan cambuk pengemudi kereta antik itu. Sesekali, satu dua penarik kereta yang tak tahan lagi akhirnya melemparkan duitnya yang tersisa. Si pengemudi pun cepat-cepat menyambar lemparan itu, dan dengan kedipan mata tahu sama tahu, ia membiarkan saja penarik kereta yang sudah sawer itu naik ke kereta dan buru-buru lari bergelantungan ke bagian belakang kereta yang rupanya menarik beberapa gerobak penuh muatan. Setelah sawer dilakukan, kelompok manusia seusia pelajar sampai mahasiswa yang tak tahan itu pun ikut-ikutan naik di belakang kereta makan. Mereka tentu saja hanya diberi jatah menjadi jongos dan budak saja, sambil sesekali menikmati makanan dan minuman mewah sisa yang ada di kereta bagian dapur. Bagian belakang memang nampak banyak makanan dan minuman. Dan setelah beberapa lama berjalan, biasanya pelajar dan siswa itu sudah nampak kekenyangan ikut menikmati jatah dapur diam-diam dan tentu saja molor sambil menikmati ayunan kereta itu.
Lama betul kereta aneh itu berjalan, seola-olah kereta kehidupan yang menyusuri aliran sungai waktu, tak berhenti, terus mengalir entah mau kemana, gue benar-benar tak tahu. Yang jelas, selama perjalanan kereta itu sesekali nampak oleng ke kiri ke kanan karena terpaan angin ataupun para penarik kereta yang nampak dicambuki seperti kerbau sesekali protes dan bikin ribut-ribut sendiri. Mungkin karena sebagian besar mereka sudah tidak mempunyai uang, jadi mereka seringkali protes karena cambuk si pengemudi berada pedas sekali. Saya masih penasaran dengan impian aneh itu, jadi saya teruskan saja mimpi saya.
Penasaran, saya mencoba membaca nama kereta yang melaju terseok-eok itu. Penumpangnya yang nampak belepotan makanan dan minuman, nampak pada tambun-tambun, bengis dan tak peduli. Sebenarnya, kereta itu berjalan di keramaian. Banyak rakyat jelata maupun pengemis yang melihat. Tapi nampaknya rakyat punya kesibukan sendiri untuk bertahan hidup. Mereka sibuk ngantri bahan bakar, elpiji, pusing sambil berbaris dalam antrian kekurangan elpiji yang entah sampai kapan bisa diatasi, dan sibuk memikirkan caranya dapat uang supaya kesehatan dan pendidikan anaknya terjamin. Maklum saja, soalnya harga bahan pokok sudah pada naik dan terjadi krisis ekonomi. Namun, rakyat yang ngantri pendapatannya tak naik-naik. Mereka umumnya hamba sahaya dari para penumpang kereta itu. Jadi, jelas lah mereka rada cuek dengan para penarik kereta yang mulai ribut. Padahal anehnya, dan ini anehnya, diantara penarik kereta itu banyak juga anak-anak daripada rakyat yang ngantri itu. Inilah negeri ajaib dengan rakyat yang ajaib, Negeri Indonesia-nanana namanya. Betul nama kereta itu ada dua baris, diatas tulisan Indonesia-nanana itu terdapat tulisan besar-besar, singkatan huruf yang kalau dibaca terdiri dari tiga huruf Be Ha Pe. Wah, rupanya itu kereta tumpangan, tapi anehnya mirip kereta sekaligus benteng yang ditarik oleh para budak yang mestinya berada dalam kereta itu dengan nyaman pula asalkan tulisan Be Ha nya dihapus. Tapi nampaknya, sesuai dengan kelakuan dari orang-orang tambun dengan berbagai wujud binatang yang ada di kereta tersebut. Nama Be Ha nampaknya bertuah. Mungkin ini erat kaitannya dengan urusan si Lonte yang suka enjot-enjotan dipangkuan par apenumpang kereta. Jadi Be Ha tetap dipakai menyertai huruf Pe. Saya jadi penasaran dengan kereta itu. Peran dan fungsinya sebenarnya kereta apa yah, kereta yang mestinya membawa ke zaman baru atau hanya kereta perbudakan saja yang terus mengitari matahari sampai kiamat.
Mengingat perbudakan, saya merinding, Soalnya menurut sejarah negeri Indonesia-nanana ini, rakyatnya sejak dulu selalu menjadi budak saja.
Konon, mereka dikabarkan pernah di perbudak oleh suku yang tinggal di bawah air, sejarah mereka di masa itu pun sebenarnya sudah tidak karuan. Mereka diperbudak selama kurang lebih 345 tahun. Lama nian, pikir saya sambil mencoba mengingat dan mencari tahu di pertapaan Mbah Wiki tentang sejarah perbudakan di dunia, terutama di negeri Indonesia-nanana ini. Setelah perbudakan dari suku Bawah Air, mereka diperbudak juga oleh suku Sodara Kolot.
Cuma waktunya singkat saja. Katanya, sebelum di perbudak suku bawah air, mereka juga diperbudak oleh suku aneh bin ajaib, suku penunggang kuda hawa nafsu. Nama sukunya kombinasi nama Arab tapi aslinya Tionghoa yaitu Yajuj dan Majuj atau Yajou Majou yang artinya suku pengendara kuda liar. Tapi menurut saya yang dimaksud adalah suku yang diperbduak hawa nafsu bahkan mereka penyembah nafsunya sendiri. Aneh betul, suku-suku yang suka memperbudak suku bangsa Indonesiananana itu. Suku Indoensiananana diperbudak suku Yajuj dan Majuj selama kurang lebih 354 tahun. Selama itu pula suku-suku Indoensiananana jadi kapiran dan menjadi linglung dibuatnya.
Kelinglungan itu selain sebab perbudakan juga karena perang sodara, azab dan bencana alam sehingga yang tersisa kebanyakan rakyat jelata yang dungu dan bodoh, kurang peduli, dan akhirnya menjadi budak penjajahnya, yaitu menjadi bagian dari Yakjuj dan Makjuj juga. Yang pinter-pinter, sepuh dan pandita, serta ksatrianya sudah mati atau nyerah dan diubah secara genetis menjadi bagian suku Yakjuj Makjuj, yang penting menurut mereka cari selamat saja. Waktu perbudakan suku bawah Air terjadi, merekapun ikut kemana angin bertiup, motonya “yang penting selamat”. Walhasil, mereka yang suka ngikut itupun ternyata kena penyakit linglung juga, mungkin ada genetic shock sehingga kebanyakan menjadi begitu wujud kelakukannya.
Saking linglung dan kurang pedulinya, tanpa mereka sadari sejarah kaum meraka sendiri akhirnya musnah di telah kegelapan. Aslinya suku-suku itu punya moyang yang hebat-hebat. Tapi sejarah kehebatannya itu sudah tidak jelas, tertelan kabut kegelapan selama 1400 tahun lebih. Jadi lama juga sebenarnya, meskipun lamanya itu pun tidak jelas, apakah memang 1400 tahun atau sekedar 50 tahun saja. Jadi, mungkin dimusnahkan ketika suku Yajuj Majuj mulai menyerbu setelah bencana alam dahsyat,merampok harta yang tertinggal, dan tentu saja memperbudak mereka. Jadi masa kekacauan itu memang gak jelas betul, mungkin gak kepikiran kok bisa 1400 tahun hanya menjadi 50 tahun saja. Lha kemana 1350 tahun sisanya? Jadi dongeng 1001 malam? Atau jadi mimpi kosong belaka. Entahlah, tapi itu menurut informasi dan desas-desus yang saya sempat nguping juga di dunia Mayantara.
Akhirnya, mau 50 tahun atau 1400 tahun kek, tak banyak orang yang peduli, soalnya mereka yang peduli umumnya sedikit dan tidak berani mengatakannya terang-terangan. Lama-lama tentu saja informasi simpang siur itu tidak karuan dan akhirnya menjadi hilang sama sekali. Memang betul juga pepatah yang mengatakan,
“siapa yang menguasai masa lalu akan menguasai masa depan, siapa yang menguasai masa kini akan menguasai masa lalu”.
Jadi berhubung tak ada kesadaran sejarah seperti itu di kawanan suku-suku Indonesia-nanana maka tentu saja mereka tak punya masa kini dan tak punya masa depan karena masa lalunya hilang terhapus begitu saja seolah-olah tak pernah ada. Kalaupun ada, karena mungkin yang mengarangnya sangat takut dibunuh penguasa masa itu, informasi kesejarahan itu terselubung dalam legenda dan dongeng yang sebenarnya fakta yang hanya bisa dibuka kalau suku-suku bangsa Indonesiananana bebas dari perbudakan pikiran, berpendidikan yang baik, sehat jasmani dan ruhaninya, dan sejahtera hidupnya.
Ketika datang serbuan suku Bawah Air bagaikan air bah zaman Nabi Nuh, suku-suku Indonesiananana tak peduli betul. Toh sama saja mereka akan berada diposisi budak, posisi kelas yang menjadi pijakan kelas yang menjajahnya. Jadi, setelah 354 tahun dibuat linglung dan kapiran, serbuah suku Bawah Air tidak membuat mereka bingung karena toh yang berperang suku Yakjuj dan Makjuj dan konconya lawan suku Bawah Air yang tak mereka kenal.
Rupanya, waktu itu, angin perubahan berpihak pada suku Bawah Air yang mempunyai persenjataan dan strategi yang baik. Suku Yakjuj dan Makjuj pun pelan-pelan kekuasaannya hilang. Sebagian malah bekerjasama dengan suku Bawah Air sebagai tuan barunya. Dan sejak itu suku-suku Indonesiananana pun menjadi budak lagi selama 345 tahun.
Waktu dijajah suku Bawah Air, pernah dicoba membangkitkan semangat untuk membuat suku Indonesiananana lebih pintar. Tapi rupanya usaha itu sangat berat, entah karena penjajahan Yakjuj dan Makjuj demikian parah membuang kemampuan mereka atau memanng dasarnya bebal. Walhasil setelah 100 tahun lebih diminta untuk membaca, menulis dan belajar, tak banyak berkembang. Yang muncul malah kalangan Indonesiananana hasil selingkuhan yang melahirkan blasteran Yakjuj dan Majuj yang masih tersisa membentuk masyarakat elit yang menjadi mitra suku Bawah Air. Umumnya mereka pandai bersilat lidah, berteori, dan diam-diam nafsunya gede serta kemaruk harta. Jadi, tak seganlah mereka memperbudak sodara sendiri. Yang penting selamet.
Diam-diam cara-cara perbudakan masih mereka lakukan meskipun dunia sudah berubah. Ketika Bom Atom meletus di Negeri Sodara Tua dan suku Indonesiananana memerdekakan diri. Entah bagaimana ceritanya, waktu itu suku Indonesiananana seperti kesetanan, mereka berani sekali ketika mendengar perbudakan sudah lewat. Jadi, ada sebagian kecil pemuka Indoensiananana yang akhirnya terlepas dari kungkungan kegelapan dan melakukan kasak kusuk menuntut merdeka.
Ketika huru hara Bom itu terdengar, dan suku Sodara Kolot langsung loyo karena negerinya binasa kena Bom Atom, mereka tak peduli lagi apakah Indonesiananana mau merdeka atau tidak. Akhirnya merdeka juga meskipun pemimpin suku Indoensiananana meski diculik dulu oleh anak mudanya supaya merdeka. Merdeka pulalah suku Indonesiananana.
Selama merdeka itu diam-diam blasteran suku Yakjuj dan Majuj maupun bekas abdi dalem Suku Bawah Air mengintip mengambil kesempatan dalam kesempitan dan berbaur dengan kegembiraan. Karena mereka tentu saja lebih licin ketimbang belut, maka tetap saja yang memegang kendali negeri Indonesiananana yang masih bayi itu, mereka-mereka juga.
Suku Indonesiananana yang ternyata mempunyai penyakit euforia. Jadi mereka lebih suka ngoceh dan teriak-teriak merdeka seperti kesetanan. Lupa kalau merdeka itu harusnya bagaimana. Ketika suku Bawah Air datang kembali dengan teman2nya, suku – suku Indonesiananana marah dan emoh lagi dijajah. Akhirnya terjadi perang hebat dan banyak yang mati. Tapi kehebatan suku Indoensiananana justru tampil saat itu dengan hebat pula setelah mendem selama ratusan tahun.
Tidak tanggung tanggung 2 jendral suku Bawah Air dan temannya tewas. Ini membuat marah suku Bawah Air, dan disitu pula tampil semangat motang-moyangnya suku Indonesiananana yang tenggelam ratusan tahun yang lalu. Pertempuran itu kemudian dijadikan hari istimewa bagi Pahlawan suku bangsa Indonesiananana.
Tapi tetap saja, masalah muncul setelah merdeka. Rupanya penyakit kegelapan jiwa yang telah membuat linglung suku Indoensiananana masih belum sembuh benar. Karena itu diam-diam mereka masih terkungkung dalam wilayah perbudakan. Penguasanya masih seperti yang dulu turunan Yakjuj dan Makjuj maupun bekas abdi suku Bawah Air.
Jadi, diam-diam pula suku Indonesiananana tetap masih dalam kegelapan dan kelinglungannya. Ketika zaman berubah, rupanya kelinglungan akibat perbudakan mulai terkikis secara alamiah. Sebagian suku Indoensiananana sadar betul kekurangan nya yaitu tak mau membaca dan belajar, maunya bengong, pinter ngomong kaya dukun, ngupil, comot sini, comot sana, gosip, main perempuan, korupsi, mabok-mabokan, dan paling parah jadi tuhan-tuhanan. Sesekali bakat alam suku ini tampil ramai-ramai. Itu terjadi kalau ada acara seremonial, dangdutan, wayangan, ataupun acara-acara gratisan lainnya.
Diam-diam, siklus Bumi berubah, cokromanggilngan berputar ke titik awal mula, ketika kelinglungan itu mulai menghilang muncul kekhawatiran dari kelompok elit Indonesiananana, jangan-jagan semua suku Indonesiananana bangun dari tidurnya. Jadi muslihat pun kembali di gelontorklan dengan segala cara dengan tujuan “tetap menjadikan suku Indonesiananana berada di tingkat budak” saja.
Jadi, segala sesuatunya musti dibuat dengan proses yang menyulitkan, meskipun sebenarnya mudah, misalnya pendidikan, kesehatan, bahan pangan, rumah, elpiji, dapur, bumbu masak, nasi, beras, dan segalanya musti harus sulit dijangkau. Gaji pekerjanya tak perlu tinggi, tapi biarkan saja kecil, biarkan virus loba dan tamak mampir, biarkan korupsi terjadi, dan biarkan kebodohan merajalela, namun iming-imingi dengan barang mewah. Nah kalau ingin barang itu suruh mereka mengkriditnya. Badan perkreditan musti dibangun oleh modal penguasa atau modal dari para pengumpul kekayaan yang ternyata jumlahnya tak banyak, baik dari kalangan Yakjuj Majuj maupun bukan. Kira-kira itulah yang kemudian berjalan. Jadi, meskipun sudah mengaku merdeka puluhan tahun, suku Indonesiananana sejatinya masih menjadi budak suku Yakjuj dan Makjuj serta keturunan dan konco2nya.
Tapi sekali lagi zaman telah berubah, pertolongan sebenarnya datang dari sudut dunia yang tak disangka-sangka, keterbukaan ilmu pengetahuan merebak dimana-mana. Thanks to Internet, Yahoo, Google, and Mbah Wiki. Maka ketika kesempatan menjatuhkan Status Quo terjadi 10 tahun yang lalu, suku-suku Indonesiananana blingsatan mirip zaman kemerdekaan dulu, mengalami euforia dan ribut kesana kemari.
Tuntutan demi tuntutan kemudian dilakukan, protes demi protes dijalankan, pahlawan demi pahlawan kesiangan pun muncul di tv-tv.
Tapi, tetap saja inti masalah suku Indonesiananana luput diperhatikan dengan serius yaitu masalah pendidikan, kesehatan , keadilan dan tentu saja kesejahteraan. Jadi, euforia itupun diam-diam mulai berbelok lagi menelikung potensi suku Indonesiananana yang terlanjur umumnya “sudah dan masih” berada dibawah garis kesejahteraan.
Ketika akhirnya pendidikan dilalaikan, maka ributlah anak muda suku Indonesiananana menuntut pendidikan murah kalau perlu gratis. Tapi apa lacur, beberapa tahun setelah eforia pembebasan lahir, tanpa sadar jerat dan benteng pendidikan mulai dibangun kembali oleh kelompok Yakjuj Makjuj dan sekutunya.
Benteng yang kuat supaya suku Indonesianana tidak maju kembali dibuat diam-diam, benteng itupun kemudian menjadi benteng yang akan menyulitkan suku Indonesiananana untuk bebas seutuhnya dari perbudakan, terutama perbudakan pikiran yang selama ini mengkerangkeng mereka. Membebaskan perbudakan pikiran adalah membebaskan manusia untuk menimba ilmu. Jadi, kalau sumber ilmu berkembang dibentengi dengan tembok yang disebut BHP berbiaya tinggi, tentu saja suku Indonesiananana yang masih kere dengkle akan kesulitan meningkatkan kualitas pendidikannya sulit meningkatkan kualitas hidupnya, sulit mendapatkan keadilan, sulit menjadi sejahtera lahir batin, dan akhirnya tetap saja ia menjadi budak karena hanya yang punya duit saja yang tetap menguasai ilmu itu.
Walhasil, suku Indonesiananana yang sadar apa yang mungkin terjadi pada berontak. Mula-mula mereka minta biaya pendidikan dari pemerintah dinaikkan 20 persen. Tapi entah kenapa, ketika rakyat disibukkan dengan kekurangan bahan bakar, elpji, krisis ekonomi, krisis israel-palestina, gambar porno, dan tentu saja membuat rakyat sibuk sendiri dengan urusan dapurnya, muncul bangunan benteng feodalisme ilmu itu yang kemudian disebut Badan Hukum Pendidikan alias Be Ha Pe yang nampak oleh saya di masa depan jadinya seperti yang saya khayalkan diatas tulisan ini, anak muda Indonesiananana hanya akan menjadi budak penguasanya saja.
BHP, Badan Hukum Pendidikan lebih mirip sekedar kamuflase saja dari Benteng Feodalisme Pendidikan yang kalau tidak diruntuhkan atau diluruskan tujuannya akan menjadi benteng yang kuat seolah tembok besi Iskandar Dzulkarnain yang digunakan untuk melindungi sekelompok elit penguasa yang mungkin pelan-pelan hegemoni kekuasaannya mulai terancam karena tidak mau dan tidak punya keinginan tulus untuk mencerdaskan semua manusia yang disebut bangsa Indonesiananana tanpa pandang bulu.
Jadi, itulah masalahnya, pikir saya sambil mendengar berita TV tentang demo menentang BHP dan demo anti-Israel, kenapa anak-anak muda Indonesiananana sekarang mulai turun kejalan dan menuntut meruntuhkan Behape. Tentu saja mereka sewot, setelah se-tress tak karuan karena pendidikan tidak jelas arahnya dan mahal biayanya mulai dari TK sampai PT, kini jelas-jelas ada alasan kuat untuk kembali bergerak melakukan perubahan dengan menuntut pembatalan Behape.
Saya tiba-tiba tersentak, bangun dari mimpi aneh saya itu. Untungnya saya sudah bukan mahasiwa, dan dulu saya dibiayai pemerintah menuntut ilmu dengan biaya kurang dari 100 ribu per semester. Jadi, sayapun kemudian setju dengan protes mereka, menyemangati mereka yang menuntut keadilan untuk mendapatkan pendidikan murah kalau perlu gratis tis… tis…. tis…. sampai perguruan tingi. Pemerintah semestinya dan seharusnya tetap bertanggung jawab atas “untuk mencerdaskan suku bangsa Indonesia nanana”, meningkatkan pendidikan rakyatnya sampai benar-benar gratis dan rakyat mempunyai modal pengetahuan yang setara aksesnya. Industri yang menguras sumber daya alam Indoensiananana juga mesti bertanggung jawab atas pendidikan rakyat Indonesiananana yang murah, jangan asal nyomot kekayaan alam dengan menggunakan tangan suku Yakjuj Makjuj, lantas meninggalkannya seperti gerombolan belalang parasit.
Knowledge for everyone.
Atmnd114912 warga Indonesia nanana
13:19/30-12-